Studi: Kebijakan 'Pencemar Membayar' Bisa Turunkan Emisi Karbon

Washington — Untuk mengetahui apa yang benar-benar berhasil saat banyak negara mencoba melawan perubahan iklim, para peneliti mengamati 1.500 cara yang telah dicoba oleh negara-negara untuk mengurangi efek gas rumah kaca. Jawaban mereka: Tidak banyak yang berhasil. Dan keberhasilan sering kali berarti seseorang harus membayar harganya, baik di SPBU maupun di tempat lain. Menurut sebuah studi baru dalam jurnal Science edisi Kamis (22/8), para peneliti menemukan hanya 63 kasus sejak 1998 yang menunjukkan kebijakan yang menghasilkan pengurangan polusi karbon yang signifikan, Upaya untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil dan mesin bensin misalnya, belum berhasil dengan sendirinya. Namun, akan lebih berhasil jika dikombinasikan dengan semacam pajak energi atau sistem biaya tambahan, demikian kesimpulan yang didapat penulis studi dalam analisis mendalam tentang emisi global, kebijakan iklim, dan hukum. “Kunci utama jika Anda ingin mengurangi emisi adalah Anda harus memiliki harga dalam pembuatan kebijakan.” kata salah satu penulis studi, Nicolas Koch, seorang ekonom iklim di Institut Penelitian Dampak Iklim Potsdam di Jerman. “Jika subsidi dan regulasi diterapkan sendiri-sendiri atau dipadukan, Anda tidak akan melihat pengurangan emisi yang signifikan. Namun, jika instrumen harga diterapkan seperti pajak energi karbon, maka pengurangan emisi yang substansial akan tercapai.” Studi itu juga menemukan bahwa apa yang berhasil di negara-negara maju tidak selalu berhasil di negara-negara berkembang. Namun, hal itu menunjukkan kekuatan finansial dalam memerangi perubahan iklim, seperti yang selalu diperkirakan oleh para ekonom, kata beberapa pakar kebijakan luar, ilmuwan iklim, dan ekonom yang memuji studi tersebut. "Kita tidak akan memecahkan masalah iklim di negara-negara maju sampai pencemar membayar," kata Rob Jackson, ilmuwan iklim Universitas Stanford dan penulis buku Clear Blue Sky. "Kebijakan lain membantu, tetapi hanya sedikit." “Penetapan harga karbon membebankan tanggung jawab pada pemilik dan produk yang menyebabkan krisis iklim,” kata Jackson melalui email. Koch mengatakan, contoh terbaik dari strategi yang berhasil adalah di sektor kelistrikan di Inggris. Negara itu menerapkan gabungan dari 11 kebijakan berbeda mulai 2012, termasuk penghentian penggunaan batu bara dan skema penetapan harga yang melibatkan perdagangan emisi. Menurut Koch, gabungan kebijakan itu berhasil mengurangi hampir separuh emisi di Inggris. “Dampak yang sangat besar,” katanya. Dari 63 kisah sukses penanganan iklim, pengurangan terbesar terlihat di sektor bangunan Afrika Selatan, di mana kombinasi regulasi, subsidi, dan pelabelan peralatan mengurangi emisi hampir 54%. Satu-satunya kisah sukses di Amerika Serikat adalah di bidang transportasi. Emisi turun 8 persen dari 2005 hingga 2011 berkat perpaduan standar bahan bakar — yang berarti regulasi — dan subsidi. Namun, bahkan perangkat kebijakan yang tampaknya berhasil masih belum mampu mengurangi emisi karbon dioksida yang terus meningkat. Secara keseluruhan, 63 contoh kebijakan iklim yang berhasil memangkas 600 juta hingga 1,8 miliar metrik ton gas yang memerangkap panas, demikian temuan studi tersebut. Tahun lalu, dunia mengeluarkan 36,8 miliar metrik ton karbon dioksida saat membakar bahan bakar fosil dan proses pembuatan semen. Jika setiap negara besar bisa mempelajari pelajaran dari analisis itu dan memberlakukan kebijakan yang paling berhasil, hal itu hanya akan mempersempit "kesenjangan emisi" sebesar 26 persen dari 23 miliar metrik ton “kesenjangan emisi” dari seluruh gas rumah kaca yang dikalkulasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kesenjangan tersebut adalah perbedaan antara seberapa banyak karbon yang akan dilepaskan dunia ke udara pada t2030 dan jumlah yang akan menjaga pemanasan pada atau di bawah tingkat yang disepakati secara internasional. “Hal ini pada dasarnya menunjukkan bahwa kita harus melakukan pekerjaan yang lebih baik,” kata Koch, yang juga merupakan kepala laboratorium evaluasi kebijakan di Mercator Research Institute di Berlin. Niklas Hohne dari Institut Iklim Baru Jerman, yang tidak terlibat langsung dalam penelitian tersebut mengatakan: “Dunia benar-benar perlu melakukan perubahan besar, beralih ke mode darurat dan menjadikan hal yang tidak mungkin menjadi mungkin.” Koch dan timnya mengamati emisi dan upaya untuk menguranginya di 41 negara antara 1998 dan 2022, yang mencakup 1.500 tindakan kebijakan. Jadi, pengamatan Koch tidak termasuk paket belanja penanggulangan iklim senilai hampir $400 miliar atau setara Rp 6 kuadriliun yang disahkan dua tahun lalu sebagai landasan kebijakan lingkungan Presiden Joe Biden. Mereka mengelompokkan kebijakan dalam empat kategori besar, yaitu penetapan harga, regulasi, subsidi, dan informasi serta menganalisis empat sektor ekonomi yang berbeda: listrik, transportasi, bangunan, dan industri. Tim tersebut menciptakan pendekatan yang transparan secara statistik yang dapat digunakan orang lain untuk memperbarui atau mereproduksi pendekatan tersebut, termasuk situs web interaktif tempat pengguna dapat memilih negara dan sektor ekonomi untuk melihat apa yang berhasil. Dan pendekatan tersebut pada akhirnya dapat diterapkan pada paket iklim Biden 2022, katanya. Paket tersebut sangat bergantung pada subsidi. John Sterman, seorang profesor manajemen di MIT Sloan Sustainability Institute yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut, mengatakan bahwa politisi merasa lebih mudah untuk meloloskan kebijakan yang mensubsidi dan mempromosikan teknologi rendah karbon. Ia mengatakan hal itu tidak cukup. “Penting juga untuk mencegah penggunaan bahan bakar fosil dengan menetapkan harga yang mendekati biaya penuhnya, termasuk biaya kerusakan iklim yang ditimbulkannya,” katanya. [rz/ft]