Dianggap Tak Hormati Lagu Kebangsaan Pakistan dan Iran, Diplomat Taliban Tuai Kecaman

Islamabad — Pakistan dan Iran mengkritik keras diplomat dari pemerintah de facto Taliban di negara tetangga Afghanistan, karena "tidak menghormati" lagu kebangsaan mereka, yang merupakan pelanggaran terhadap norma diplomatik. Kontroversi muncul awal minggu ini setelah konsul jenderal Taliban, Mohibullah Shakir, dan rekannya tetap duduk saat lagu kebangsaan Pakistan dikumandangkan dalam upacara resmi di kota barat laut Peshawar. Tindakan tersebut memicu kemarahan publik di Pakistan dan tuntutan untuk mengusir Shakir. Islamabad langsung melayangkan protes dan secara resmi mengadu kepada otoritas de facto Afghanistan di Kabul, mengecam perilaku "tidak hormat" diplomat mereka terhadap lagu kebangsaan Pakistan sebagai tindakan "tercela" dan pelanggaran "norma diplomatik." Konsulat Jenderal Taliban di Peshawar membela Shakir dan menyangkal tuduhan tidak hormat terhadap lagu kebangsaan tersebut. Menurutnya, Shakir tetap duduk karena lagu kebangsaan itu diiringi musik, yang dianggap Taliban sebagai hal yang terlarang sesuai dengan interpretasi mereka yang ketat terhadap Islam. "Bayangkan seorang ulama berdiri untuk musik," kata seorang juru bicara konsulat. Sejak merebut kembali kendali Afghanistan pada tahun 2021, para pemimpin radikal Taliban menegakkan hukum syariah. Penegakan ini meliputi pelarangan musik, pelarangan pendidikan anak perempuan di atas kelas enam, dan pelarangan perempuan Afghanistan dari sebagian besar tempat kerja, di antara pembatasan lainnya. Namun, juru bicara Kementerian Luar Negeri Pakistan menolak penjelasan Taliban pada hari Kamis. Dalam konferensi pers di Islamabad, Mumtaz Baloch menyatakan bahwa tindakan Shakir "menyakiti perasaan rakyat Pakistan." Ia memperingatkan bahwa pemerintahnya berhak untuk mengambil tindakan lebih lanjut sesuai dengan norma dan praktik diplomatik internasional. "Kami berharap setiap individu yang mempunyai status diplomatik di Pakistan menghormati norma-norma tersebut," kata Baloch. "Kami telah menyampaikan hal ini kepada otoritas Afghanistan dan menyampaikan ketidaksenangan kami yang besar ... dan kami juga menolak penjelasan yang diberikan oleh Kuasa Usaha Ad Interim Konjen atas tindakannya." Sikap Taliban yang saling bertentangan Sementara itu, Iran juga mengkritik kepala delegasi Taliban, Azizurrahman Mansour, yang juga seorang wakil menteri, karena tidak berdiri saat lagu kebangsaan negara tuan rumah dikumandangkan pada Konferensi Persatuan Islam Internasional di Teheran, Kamis (19/9) yang dihadiri oleh presiden Iran. Kementerian Luar Negeri Iran kemudian memanggil Kuasa Usaha Ad Interim Kedutaan Besar Taliban, Fazal Mohammad Haqqani, untuk meminta klarifikasi mengenai tindakan Mansour yang dianggap tidak menghormati lagu kebangsaan. Media Iran mengutip Haqqani yang menegaskan kembali rasa hormat negaranya terhadap Iran, dengan mengklaim bahwa tindakan Mansour bersifat "pribadi" dan tidak mencerminkan sikap resmi pemerintah Afghanistan. Mansour dalam pesan video resminya menyatakan bahwa ia tetap duduk saat lagu kebangsaan Iran dikumandangkan sesuai dengan tradisi di Afghanistan. "Di negara kami, kami duduk saat lagu itu dikumandangkan, dan saya telah bertindak sesuai dengan adat ini. Kami minta maaf kepada orang-orang yang marah." Namun, penjelasan Taliban gagal meredakan kemarahan di Iran. “Tidak menghormati norma diplomatik dengan dalih pelarangan musik berdasarkan syariah, tidak masuk akal,” kata Hassan Kazemi Qomi, utusan khusus Iran untuk Afghanistan, di platform media sosial X, yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter. Ia menulis dalam bahasa lokal bahwa jika musik dilarang, mendengarkan musik juga harus dilarang. Mohammad Ali Abtahi, seorang “reformis dan pembantu senior mantan Presiden Mohammad Khatami” terkemuka Iran, juga ikut mengecam Taliban. Saluran televisi berbahasa Persia Iran International yang berbasis di London menerbitkan terjemahan dari unggahan X milik Abtahi dalam bahasa aslinya. "Ketidakhormatan Taliban terhadap lagu kebangsaan Pakistan dan Iran, dan penolakan mereka untuk berdiri, memiliki akar ideologis." Abtahi lebih lanjut memperingatkan, "Ketika kami mengatakan bahwa ideologi Taliban lebih berbahaya daripada ribuan senjata yang mereka miliki, inilah yang kami maksud." Abtahi mengkritik penyelenggara konferensi karena mengundang Taliban dan menyatakan bahwa "mayoritas umat Muslim di mana pun, termasuk di Iran, tidak menginginkan persatuan dengan Taliban." Iran adalah negara dengan mayoritas muslim syiah, dan Taliban mewakili mayoritas komunitas muslim sunni di Afghanistan. Tidak ada negara yang secara resmi mengakui Taliban sebagai pemerintah yang sah di Kabul, terutama karena mereka membatasi perempuan untuk mendapatkan pendidikan dan kehidupan publik secara umum. Menteri Luar Negeri Taliban Amir Khan Muttaqi, Kamis (19/9) mengatakan bahwa pemerintahnya mengendalikan sekitar 40 kedutaan besar dan konsulat Afghanistan di seluruh dunia, dan bahwa hubungan diplomatiknya dengan masyarakat internasional membaik. Banyak pemerintah Barat, termasuk Amerika Serikat, bersikeras bahwa pengakuan formal terhadap Taliban bergantung pada tindakan mereka terkait hak-hak perempuan, pendidikan untuk anak perempuan dan perempuan, serta kebebasan bergerak. [es/dw]