Duo Penari Hip-Hop Twineester Beberkan Siasat Anak Muda Aceh Rayakan Hidup

“Ngapain kalian berjilbab tapi nari hip-hop begitu? Copot aja sekalian.” 

Alisa (22) membacakan sebuah komentar pedas di akun TikTok Twineester pada VICE. Alya (22), saudara kembar yang duduk di sampingnya, menyimak sambil terkekeh. “Udah biasa itu, kami udah enggak open [peduli] dengan komentar kayak gitu,” timpalnya.

Komentar di atas ditulis seorang netizen dalam rangka mengomentari sebuah video tari kejang (padanan untuk breakdance) yang mereka unggah beberapa bulan lalu. Tampak di layar, dua perempuan muda ini melakukan gerakan-gerakan breakdance dengan enerjik. Dan ini baru satu dari puluhan video yang memang rutin mereka buat untuk proyek mereka, Twineester.

Twineester adalah nama yang dipakai duo Raihan Alya Ismed dan Raihan Alisa Ismed untuk menyebut proyek duo mereka sebagai penari. Sejak dibentuk 2019 lalu, mereka mendalami genre tari breakdance atau b-girling yang jadi bagian dari subkultur hip-hop, serta dance cover K-Pop. Sekilas, membuat proyek yang didasari hobi dan bersifat ekspresif adalah hal yang sangat biasa bagi anak-anak muda. Tapi fakta bahwa mereka tumbuh dan tinggal di Banda Aceh, satu-satunya kota di Indonesia yang menerapkan syariat Islam, menjadikan posisi Twineester unik.

Cerita perjalanan karya mereka dibumbui siasat-siasat untuk mengakali berbagai qanun (peraturan daerah) yang cenderung membatasi gerak masyarakat, khususnya perempuan. 

Syariat Islam secara resmi diberlakukan di Aceh pada 2003, setelah provinsi tersebut memperoleh status otonomi khusus dari Indonesia, untuk meredam perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Aceh lalu menetapkan berbagai qanun yang menentukan bentuk-bentuk pelanggaran sesuai pandangan agama Islam. Tak cukup, Qanun Jinayat atau hukum pidana Islam disahkan pula oleh pemerintah daerah Aceh pada 2014 lalu.

Dilansir dari penelitian, sepanjang 1999-2012 terdapat 442 aturan syariat yang di antaranya mengatur cara perempuan berpakaian dan bertindak di tempat umum. Perempuan juga berisiko menghadapi tuduhan zina jika kedapatan menemui atau bersama lawan jenis yang bukan muhrimnya. Amnesty International, berbagai LSM, dan koalisi perempuan Aceh kerap membuat kampanye mendesak revisi Qanun Jinayat ini karena dinilai terlalu fokus mengurusi moralitas individu ketimbang fungsi utamanya menangani kekerasan seksual.

Berbagai qanun ini memengaruhi cara anak-anak muda di Banda Aceh menjalani hari-hari dan mengekspresikan diri mereka. Termasuk pada Alisa dan Alya.

Alisa dan Alya berpose untuk VICE di sebuah kedai kopi di Peunayong, Banda Aceh, 1 Oktober 2023.

VICE menemui mereka di sebuah kafe tengah kota Banda Aceh yang ramai siang itu. Mereka terlihat stylish, riang, dan identik. Hobi memakai pakaian senada membuat penampilan mereka makin sulit dibedakan. “Alisa pakai behel, Alya enggak,” jelas mereka buru-buru.

Sembari menyelesaikan kuliah di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Alisa dan Alya yang baru berusia 22 tahun mulai sibuk tampil di berbagai acara publik di Banda Aceh. Pertunjukan mereka jadi menarik, terlebih karena tari breakdance identik dengan tarian yang maskulin.

“Kami perempuan dan pakai hijab aja sebetulnya udah jarang ya di kalangan penari hip-hop, tapi ya karena di Aceh semua wajib (berhijab) jadi sebenarnya biasa aja sih,” jelas mereka, saling menimpali kompak.

“Awal dari semuanya tuh adalah Cherrybelle,” Alisa cekikikan. “Dulu jaman SD kami suka sekali joget menirukan lagu ‘Beautiful’. Terus pas SMP kami suka banget SNSD dan Super Junior, demam Korea lah waktu itu di mana-mana. Kami beli CD di pasar, latihan sendiri di rumah,” timpal Alya. “Iya, tapi sempat dibilang buang-buang duit suka sama K-Pop gitu, padahal keren menurut kami,” tambah Alisa lagi.

Alisa dan Alya tak pernah belajar menari pada seseorang atau sebuah lembaga, semua dilakukan secara otodidak. Melakoninya sebagai kesenangan, mereka mulai rutin membuat video-video dance cover K-Pop semasa SMK. Dari tarian K-Pop, mereka kemudian menjajal tari hip-hop. Tahun 2020 mereka kemudian direkrut bergabung dengan Obliviate Dance Community yang juga beroperasi di Banda Aceh. “Kami dua-duanya jalan sih, K-Pop jalan, hip-hop juga jalan, enggak condong ke salah satu,” ujar Alya.

Agustus 2023 lalu, Twineester berangkat ke Malaysia untuk tampil di ajang Break 2 Prove Internasional Hip Hop Jam. Di sana, Twineester memamerkan teknik-teknik breakdance dan freestyle yang mereka pelajari sendiri. Alya dan Alisa mengaku menggemari lagu-lagu dari Kendrick Lamar, Migos, Drake, Lil Wayne, dan Lil Nas X untuk dibuat koreografinya. Meski tak menang, mereka gembira karena diapresiasi dan masuk dalam jaringan penari hip-hop internasional. “Kami disambut baik di sana, pas video kami viral pun komentarnya baik dari Malaysia. Malah mulut orang sini tuh emang yang agak-agak,” tambah Alisa.

Di Indonesia, album Ku Ingin Kembali yang dirilis rapper Iwa K tahun 1993 dianggap menandai lahirnya hip-hop di industri musik nasional. Artikel VICE ini menjabarkan geliat hip-hop sejak masa Iwa K, demam album Pesta Rap, hingga gandrung “Online” Saykoji yang menasionalkan musik dan subkultur hip-hop. Di Aceh sendiri, selain Twineester dan Obliviate Dance Community, ada geliat hip-hop bawah tanah yang dimotori salah satunya oleh DJ Rencong dengan proyeknya Dangerdope.

Di skena hip-hop maupun dance cover K-Pop Aceh, Twineester dirayakan karena keberanian dan identitasnya. Tapi di luar komunitas, seperti yang telah dituturkan, komentar sinis yang mempertanyakan moral dan iman Alisa dan Alya kerap berdatangan. Biasanya terkait dengan qanun di Banda Aceh. Sewaktu SMK, mereka sempat batal tampil di pensi sekolah karena kepala sekolah menyatakan tak boleh ada tari-tarian, apalagi ditampilkan oleh perempuan di depan umum.

Padahal, agar tidak melanggar qanun syariat ini, Alya dan Alisa membuat aturan mendasar di penampilan dan karya mereka. Misalnya mereka selalu memakai pakaian oversized agar mengaburkan bentuk tubuh, serta menghindari gerakan body roll, jenis gerakan meliukkan tubuh di breakdance.

Keputusan ini mereka buat setelah melihat tren qanun yang semakin hari semakin bertambah di Aceh. 

“Banyak yang bilang kami melanggar ini-itu, padahal enggak,” ungkap Alisa, Alya segera menimpali, “Makanya, kalau offline banyak aturan, kami berkarya di online saja.” Sejak awal, mereka juga menyeriusi tampilan di media sosial, khususnya TikTok dan Instagram.

Twineester bersama rekan komunitas Obliviate berlatih dance di Gedung AMPI, Banda Aceh, 1 Oktober 2023.
Sambil latihan, mereka juga membuat video dance untuk konten mereka.

Selama ngobrol dengan VICE, berkali-kali Alisa dan Alya mengungkapkan rasa herannya pada qanun-qanun yang menurut mereka tidak relevan. Selain itu, mereka mengeluhkan berbagai qanun yang mempersempit gerak anak muda dan khususnya perempuan.

Salah satu aturan yang mereka maksud adalah larangan perempuan dewasa menari di depan tamu yang sempat diberlakukan di Kabupaten Aceh Utara 2013 lalu. Lalu misalnya, larangan laki-laki dan perempuan duduk semeja di Bireuen 2018 lalu, larangan perempuan ngangkang di kendaraan di Lhokseumawe, aturan pakaian perempuan yang harus sesuai syariat Islam di Banda Aceh, serta larangan live music di Bireuen.

Terakhir, 4 Agustus 2023 lalu, penjabat gubernur Aceh Achmad Marzuki mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 451/11286 yang memuat 20 poin tentang penguatan dan peningkatan pelaksanaan syariat Islam. Isinya antara lain pembatasan jam operasional warung kopi, larangan berduaan bagi laki-laki dan perempuan bukan muhrim di kendaraan, pengawasan konten media massa, salat berjamaah lima waktu, dan penguatan dakwah di perbatasan. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Wilayatul Hisbah (polisi syariat) diminta meningkatkan pengawasan.

Dengan konteks ini, walaupun tak secara eksplisit menyatakan sikap politis, konsistensi mereka sebagai perempuan yang mengusahakan kesempatan untuk terus bisa mengekspresikan dan mengembangkan diri di Aceh sudah bisa dilihat sebagai aktivisme itu sendiri.

“Banyak lah enggak boleh ini-itu. Di Arab ada lho bioskop, kok kita kayak malah berlebihan ya di sini? Makanya kami sedih, masak tiap mau nonton bioskop, kami musti ke Medan?” keluh mereka.

Di satu sisi, cerita mereka ini mematahkan anggapan bahwa kehidupan anak muda Aceh tak seseru di kota-kota lain karena aturan syariat Islam. Alya, Alisa, dan anak-anak muda seumuran mereka punya sejuta siasat untuk tetap merayakan masa muda mereka.

Di Banda Aceh memang tak ada bioskop. Ruang gelap dan tertutup dianggap terlalu rawan menimbulkan perbuatan yang dilarang syariat islam. Pergi ke Medan yang berjarak 12 jam perjalanan darat jadi opsi paling masuk akal ketika mereka ingin menonton film terbaru. Menurut cerita duo kembar ini, banyak juga kawan perempuan yang sebenarnya punya preferensi pakaian non-hijab. Namun karena wajib, anak-anak ini baru menjajal berbagai gaya pakaian ketika pergi ke Medan atau Sabang yang karena destinasi wisata cenderung lebih bebas.

Berbagai kegiatan seperti pesta atau temu fansclub juga tetap dilakukan, meski tak bisa dipublikasikan secara terang-terangan. “Sebenarnya tetap sih, misalnya anniversary BLACKPINK, BTS, itu ada acara di kafe, yang ikut registrasi. Di sini K-Pop wave banyak kali lho, tapi enggak nampak. Kalau online aja banyak sekali, tapi kalau offline memang enggak nampak,” jelas mereka.

“Yang pacaran juga tetap banyak,” mereka terkikik menyebut satu pantai di pinggir kota Banda Aceh yang populer sebagai spot pacaran, salah satu dari mereka lalu menambahkan, “Di konser juga misalnya ada aturan zona cowok-cewek, tapi polisinya aja malah enggak ngapa-ngapain, ya udah bisa kok nyampur lagi juga.”

Hal-hal ini sebenarnya tak bisa sekadar dianggap hasrat yang menuju ke arah liberal, bertentangan dengan syariat, tapi lebih ke satu masa eksplorasi dan eksperimen khas remaja yang sedang membentuk identitas dirinya. Masa-masa ini penting bagi perkembangan psikologis dan kematangan seseorang.

Alisa dan Alya mengerjakan pesanan jahitan di rumahnya, Banda Aceh, 1 Oktober 2023.
Alya mengerjakan pesanan jahitan di rumahnya.

Sambil terus bersiasat, mereka kadang bimbang dengan kejelasan dan implementasi qanun di Banda Aceh. Di satu sisi qanun semakin ketat, di sisi lain undangan untuk Twineester semakin banyak. “Padahal ada beberapa dinas (pemerintah) bikin event undang kami, tapi di sisi lain pemerintah juga keluarkan aturan larang ini-itu. Kayak kontra sendiri mereka itu,” ujar Alya.

“Ya qanun itu ngaruh sih, karena apa yang kami anggap positif bisa saja untuk mereka negatif. Padahal kan umur kami ini waktunya eksperimen, eksplorasi,” tambah Alisa. “Pokoknya selagi enggak melanggar kewajiban agama dan dapat izin dari orang tua, harus melanjutkan dunia yang disuka, apalagi sebagai perempuan,” mereka menambahkan.

Akhir-akhir ini, mereka tengah gencar latihan fisik dan mengembangkan koreografi berdua. Apalagi setelah Twineester tercatat jadi bagian Ikatan Olahraga Dancesport Indonesia (IODI) Aceh. Tahun 2024 nanti, mereka digadang-gadang akan mewakili Aceh di Pekan Olahraga Nasional (PON) pada cabang Dancesport.

“Selain itu, kami pingin ke Vietnam ikut acara Radical Force Jam, ingin latihan mental dan cari pengalaman ketemu hip-hop dancer dari seluruh dunia,” tutup mereka.