Apakah Persaingan China-Amerika Serikat Dorong Proposal Afrika di PBB?

Johannesburg — Pada pertemuan PBB di New York minggu ini, Amerika Serikat mengatakan bahwa dua negara Afrika harus memiliki kursi tetap di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, salah satu badan pembuat keputusan utama dunia. Selama bertahun-tahun, banyak pemimpin Afrika telah menyerukan agar benua itu memiliki perwakilan di Dewan Keamanan PBB, yang sejak Perang Dunia II hanya memiliki lima anggota tetap: Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Rusia, dan China. Minggu ini, perwakilan utama dari salah satu kursi tetap tersebut, Presiden Amerika Joe Biden, mendukung gagasan tersebut. Namun, dengan catatan khusus, yang menurut analis Kenya Cliff Mboya tidak diterima dengan baik di benua itu. Anggota Afrika yang baru tidak akan memiliki hak veto atas keputusan. “Kami telah melihat banyak reaksi keras… ini seperti lelucon besar, pertanyaannya adalah apa gunanya bergabung dengan Dewan Keamanan jika Anda tidak memiliki hak veto, apa yang akan Anda lakukan di sana?,” tanya Mboya. Hal itu dapat menguntungkan China, kata Mboya, peneliti pascadoktoral di Pusat Studi Afrika-China di Universitas Johannesburg. Menurutnya, China telah lama memposisikan diri sebagai sesama negara berkembang dan pemimpin dari apa yang dikenal sebagai Global Selatan, sambil menjelek-jelekkan Barat karena penjajahan yang mereka lakukan di masa lalu. “Menurut saya, hal ini tidak membantu Amerika Serikat dan Barat dalam hal persepsi dan narasi. Dan hanya akan membuat negara-negara Afrika lebih condong ke Timur, karena hal tersebut hanya menunjukkan kemunafikan," katanya. "China mampu membangun koalisi antara negara-negara berkembang melawan tatanan dunia yang dipimpin Amerika Serikat dan Barat.” Namun Paul Nantulya, peneliti asosiasi di Pusat Studi Strategis Afrika, mengatakan bahwa ia menganggap pengumuman tersebut sebagai "kemenangan" bagi diplomasi Amerika Serikat dan sebagian besar akan disambut baik oleh negara-negara Afrika karena hal itu membuka pintu untuk negosiasi lebih lanjut. "Soal China, negara itu telah bersikap seperti tidak mau mengambil keputusan. Jadi secara retoris China telah mengatakan semua hal yang sepatutnya, mendukung Afrika, apa yang disebutnya sebagai kepentingan sah Afrika di Perserikatan Bangsa-Bangsa, termasuk Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa," katanya. Namun, rencana China terkait hal itu masih belum jelas, tambahnya. "Jika menyangkut perincian spesifik, dalam hal apakah China mendukung perwakilan Afrika secara permanen di dewan dengan hak veto, China belum menjelaskan posisinya," imbuhnya. Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa adalah salah satu pemimpin Afrika yang menyerukan reformasi PBB. Ia mengatakan, "Afrika dan 1,4 miliar penduduknya tetap tidak diikutsertakan dari struktur pengambilan keputusan utamanya." Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga menyerukan reformasi, dengan mengatakan DK PBB belum mampu mengimbangi perubahan dunia dan Afrika kurang terwakili. Beberapa negara Afrika ingin hak veto di Dewan Keamanan dihapuskan sepenuhnya. "Jika ada reformasi, dan Afrika memperoleh dua kursi di Dewan Keamanan yang diusulkan Amerika Serikat, calon terkuat adalah Afrika Selatan, yang memiliki ekonomi terkuat di benua itu; Nigeria, negara dengan penduduk terbanyak, atau Mesir, negara Afrika Utara yang paling kuat, " kata Nantulya kepada VOA. Namun, para analis mengatakan proses penambahan negara-negara Afrika sebagai anggota tetap di masa mendatang kemungkinan akan menghadapi rintangan, karena akan sulit mencapai konsensus. Nantulya mengatakan beberapa politisi Afrika merasa masalah ini bahkan dapat menyebabkan perpecahan di antara negara-negara di benua itu. Ada juga kekhawatiran bahwa pernyataan Amerika Serikat itu mungkin hanya retorika, dan sejauh ini belum ada tenggat waktu yang diberikan mengenai langkah selanjutnya. Berdasarkan aturan PBB, setiap perubahan keanggotaan Dewan Keamanan memerlukan persetujuan dari dua pertiga Majelis Umum, termasuk kelima anggota tetap. [es/dw]